Widget HTML #1

Pengertian Justice Collaborator

DuniaPengertian.Com - Apa yang dimaksud dengan justice collaborator? Dalam hal pengungkapan suatu kasus yang bersifat organized crime seperti tindak pidana korupsi, narkotika, psikotropika, pencucian uang, perdagangan manusia, dan yang lain sabagainya, teramat sulit tanpa adanya peran whistleblower dan Justice Collaborator. Whistleblower dan Justice Collaborator sebenarnya lahir dari kondisi negara yang berangkat dari kesulitan penyidik dan penuntut umum dalam mengungkap, mengusut, dan menghukum para pelaku kejahatan terorganisir yang sangat merugikan kepentingan negara dan kepentingan umum.

Apabila dilihat dari penggunaan istilah Justice collaborator terdapat perbedaan antara negara yang satu dengan yang lainnya. Ada yang menggunakan istilah cooperatvie whitsleblower, participant whitsleblower, collaborator with justice, atau pentiti. Di negara-negara Eropa Kontinental seperti Belanda, Prancis, dan Italia sudah lama menggunakan konsep protection of cooperating person, sedangkan konsep whitsleblower lebih banyak diusung oleh negara-negara Anglo Saxon, khususnya Amerika dan negara-negara commonwhealth (negara-negara persemakmuran, bekas jajahan Inggris).

Sekalipun demikian konsep whitsleblower dan konsep protection of cooperating person merupakan dua hal yang sangat berbeda. Si pengungkap fakta pada konsep whitsleblower sama sekali tidak dipidana, sedangkan si pengungkap fakta pada konsep protection of cooperating person tetap bisa dipidana namun mendapatkan keringanan. Konsep protection of cooperating person lebih berkonsentrasi kepada pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator) dalam mengungkap suatu tindak pidana.

Justice collaborator memiliki peranan yang besar dalam membantu penyidik dan penuntut umum dalam membuktikan suatu perkara pidana. Sebagaimana diungkapkan oleh united nations office on drug and crime (UNODC) orang tersebut memiliki pengetahuan penting tentang struktur, metode operasi, dan kegiatan organisasi tersebut serta hubungan atau jaringan organisasi tersebut dengan kelompok lain. Konsep dasar Justice Collaborator adalah upaya bersama untuk mencari kebenaran dalam rangka mengungkap keadilan yang hendak disampaikan kepada masyarakat. Pencarian kebenaran secara bersama-sama itulah konteks collaborator dari dua sisi yang diametral berlawanan: penegak hukum dan pelanggar hukum.

Pengaturan tentang Justice Collaborator dalam sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan sesuatu hal yang baru jika dibandingkan dengan praktik hukum yang terjadi karena dalam KUHAP dan perundang-undang lainnya secara ekspilisit tidak mengatur justice collaborator. Adapun penggunaan justice collaborator dalam peradilan pidana merupakan salah satu bentuk upaya yang luar biasa (extraordinary crime) yang digunakan untuk memberantas tindak pidana human trafficking yang melibatkan pelaku tindak pidana itu. Si pelaku bersedia bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam membongkar suatu tindak pidana human trafficking. Dengan adanya kerjasama ini diharapkan dapat mempermudah kinerja penyidik dalam penyidikannya, jaksa dalam proses penuntutannya serta hakim dalam melakukan pemeriksaan dan pembuktian di pengadilan nantinya.

Peranan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) juga menjadi salah satu tombak untuk memberikan perlindungan kepada setiap saksi pelaku yang siap untuk melakukan kerja sama dengan penegak hukum dalam membongkar kasus human trafficking, yaitu: dengan mengungkapkan serta mengemukakan segala kebenaran yang dilakukan oleh pelaku. Maka dengan ini peranan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) ialah untuk memberi perlindungan hukum terhadap seorang justice collaborator.

Apabila keterangan yang diberikan oleh justice collaborator di atas sumpah tersebut adalah palsu, maka ancaman pidana yang dijatukan kepadanya adalah sama dengan saksi biasa yaitu pelanggaran pidana materiil pada Pasal 242 KUHP dan akan mendapat ancaman hukuman penjara 7 sampai 9 tahun penjara dan Pasal 174 KUHP mengatur tentang keterangan saksi yang disangka palsu, kemudian harus dicatat dalam berita acara sidang.

Selain itu seorang saksi harus bertindak cakap bertindak menurut hukum serta tidak terdapat alasan-alasan penghapus kesalahan dalam dirinya, atau dengan perkataan lain bahwa justice collaborator dalam memberikan keterangan terlebih dahulu oleh penyidik maupun penuntut umum untuk dipastikan kebenarannya terkait identitas pelaku baik mengenai usia maupun statusnya.Selain itu pemeriksaan dari dokter perihal kesehatan dan kejiwaan saksi. Kemudian dipastikannya bahwa seorang saksi tidak mempunyai hubungan sedarah atau semenda dalam tiga garis lurus keatas-bawah dengan para terdakwa juga bukan suami isteri meskipun sudah bercerai. Hal ini dapat diketahui dari identitas terdakwa ataupun hakim mempunyai kewenangan menanyakan langsung kepada terdakwa atau tersangka.

Selanjutnya mengenai kualitas keterangan saksi haruslah dinyatakan didepan persidangan. Sama halnya diatur dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP dimana “keterangan saksi sebagai bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan”. Dengan demikian apabila seorang justice collaborator memberikan keterangannya di luar sidang pengadilan, maka keterangannya tersebut tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa.

Perihal keterangan saksi sebagaimana telah diatur dalam Pasal 185 ayat (6) menyatakan bahwa dalam nilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim dengan sungguh-sungguh harus memperhatikan empat hal, salah satunya dalam huruf (d) yaitu cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Dalam konteks ini status hukum yang diperoleh justice collaborator sebagai tersangka maupun terdakwa untuk dapat memenuhi ketentuan dalam Pasal 185 ayat (6) huruf d tersebut, agaknya kurang dapat diterapkan. Karena representasi dari cara hidup dan kesusilaan saksi adalah menunjukkan kualitas kebenaran yang ditemukan, dapat atau tidaknya seseorang yang untuk dipercayai. Melihat perbuatan tindak pidana yang telah dilakukannya tersebut.

Oleh karena itu, jika mengacu kepada definisi justice collaborator dimana saksi pelaku yang bekerja sama mengakui perbuatannya, mengembalikan asset-aset / hasil tindak pidana dan memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan. Maka apabila terbukti bahwa pengakuannya atas kesalahannya adalah benar adanya dan keterangan serta bukti yang diberikan tersebut valid dan signifikan sehimgga penyidik atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana tersebut secara efektif maka pengaturan tentang pemberian reward dan punishment dapat diberikan kepada seorang justice collaborator. Akan tetapi jika terbukti bahwa keterangan yang diberikan ternyata tidak terbukti maka hakim dapat memberlakukan Pasal 174 kepadanya atas dakwaan palsu.

Peraturan perundang-undangan yang secara tersirat mengenai justice collaborator dapat dilihat dalam UndangUndang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan orang yang didalamnya mengatur mengenai peran serta masyarakat dalam memberi informasi tentang tindak pidana human trafficking kepada pihak yang bekerjasama atau memberi bantuan dalam memberantas tindak pidana human trafficking yang terdapat dalam Pasal 60 ayat (2).

Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana human trafficking tersebut menyatakan sebagai berikut:

“Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan tindakan memberikan informasi dan/atau melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib, atau turut serta dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang”

Peraturan lainnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang didalamnya terdapat pengaturan mengenai perlindungan terhadap saksi pelaku (justice collaborator) yang terdapat dalam Pasal 10 dan Pasal 10A.

Selanjutnya terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011 tentang perakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) di dalam tindak pidana tertentu. Surat edaran yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung sebagai pedoman bagi hakim untuk menentukan pelaku sebagai justice collaborator, dimana dalam surat edaran ini meliputi mengenai tindak pidana serius dan atau tindak pidana terorganisir yang pelaku dapat mengajukan sebagai justice collaborator dan juga sebagai pedoman hakim untuk menentukan pelaku disebut sebagai justice collaborator

Untuk dapat disebut sebagai justice collaborator, berdasarkan angka 9 huruf (a) dan (b), SEMA memberikan pedoman untuk menentukan kriteria justice collaborator. Pertama merupakan pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan sebagai pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Kedua jaksa penuntut umum, di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan, sehingga penyidik dan/atau mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana.

Berdasarkan Pasal 9 huruf (c) kepada justice collaborator yang telah memberikan bantuan itu hakim dengan tetap mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat yang dapat mempertimbangkan untuk:

1. Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; 

2. Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara tersebut.

Kedudukan justice collaborator dalam pengungkapan suatu tindak pidana juga telah menjadi perhatian dalam konsep perlindungan saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, namun pada dasarnya konsep tersebut telah diadopsi dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang telah diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 pada dasarnya mengakui peranan penting seorang justice collaborator dalam mengungkap sutau tindak pidana terorganisir dan berusaha membongkar pelaku yang terlibat, bahkan menjadi tersangka dalam suatu kasus pidana yang sama untuk memberikan informasi sebagai saksi atau pelapor. Dalam pasal ini memang tidak digunakan istilah justice collaborator secara langsung, namun terdapat frasa “saksi yang juga sekaligus sebagai tersangka dalam kasus yang sama” menunjukkan bahwa ayat ini ditujukan untuk mereka yang berkedudukan sebagai justice collaborator.

Referensi

Firman Wijaya ,Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Persepektif Hukum, (Jakarta: Penaku, 2012), 19-20.

Sigit Artantojati, Perlindungan Hukum terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012, 88.