Widget HTML #1

Pengertian Nikah/Perkawinan

DuniaPengertian.com – Apa yang dimaksud dengan nikah/Perkawinan. Persoalan pernikahan adalah persoalan manusia yang mencakup seluruh segi kehidupan manusia, mudah menimbulkan emosi dan perselisihan. Karena itu adanya kepastian hukum bahwa terjadinya suatu perkawinan sangat diperlukan. Dalam hal ini telah terjadinya suatu akad (perjanjian) pernikahan mudah diketahui dan mudah diadakan alat-alat buktinya, sedang telah terjadinya suatu persetubuhan sulit mengetahuinya dan sukar membuktikannya.

Definisi Nikah/Perkawinan

Menurut bahasa, nikah berarti penggabungan dan pencampuran. Sedangkan menurut istilah syari‟at, nikah berarti akad antara pihak lakilaki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal. Jadi, hubungan badan itu tidak boleh dilakukan hanya dengan izin semata

Secara etimologis perkawinan dalam bahasa Arab berarti nikah atau zawaj. Kedua kata ini tang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyaj terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi. AlNikah mempunyai arti Al-Wath’i, Al-Dhommu, Al-Tadakhul, Al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath aqd yang berarti bersetubuh, hubungan badan, berkumpul, jima’ dan akad [1].

Perkataan nikah mengandung dua pengertian yaitu dalam arti yang sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz). Dalam pengertian yang sebenarnya kata nikah itu berarti berkumpul sedangkan dalam arti kiasan berarti aqad atau mengadakan perjanjian kawin

Menurut Soemiyati, nikah itu merupakan perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Perjanjian disini bukan sembarang perjanjian tapi perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Suci disini dilihat dari segi keagamaannya dari suatu perkawinan.

Zahry Hamid menulis sebagai berikut; yang dinamakan nikah menurut syara’ ialah akad (ijab kabul) antara wali dan mempelai laki-laki dengan ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syaratnya. Dalam pengertian luas, pernikahan atau perkawinan adalah “suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup berketurunan, yang dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam [2] 

Pengertian perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU Nomor 1 Tahun 1974) tentang Perkawinan: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Menurut hukum Islam yang dimaksud dengan perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. “Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materil”

Dasar Hukum Nikah 

Dasar pensyariatan nikah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Ijma. Namun sebagian ulama berpendapat hukum asal melakukan perkawinan mubah (boleh). Pada dasarnya arti “nikah” adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam pertalian suami isteri

Mengenai dasar hukum tentang nikah, telah diatur dalam AlQur’an surat an-Nur ayat 32:

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”

Jika dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakannya, maka melakukan pernikahan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnat, haram, makruh, ataupun mubah

1) Melakukan Pernikahan yang hukumnya wajib 

Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan utuk menikah dan akan dikhawatirkan akan terjerumus pada perbuatan zina seandainya tidak menikah maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang. Hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut merupakan hukum sarana sama dengan hukum pokok yakni menjaga diri dari perbuatan maksiat.

2) Melakukan Pernikahan itu yang Hukumnya Sunnat

Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan pernikahan, tetapi kalau tidak menikah tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnat.

3) Melakukan Pernikahan itu yang Hukumnya Haram 

Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya dan isterinya, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram. Termasuk juga hukumnya haram pernikahan bila seseorang menikah dengan maksud untuk menelantarkan orang lain, misalnya wanita yang dinikahi itu tidak diurus hanya agar wanita itu tidak dapat menikah dengan orang lain.

4) Melakukan Pernikahan itu yang Hukumnya Makruh

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak menikah. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami isteri dengan baik.

5) Melakukan Pernikahan itu yang Hukumnya Mubah 

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan isteri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya untuk menikah itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan pernikahan, seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.

Rukun Nikah

1) Calon suami, syarat-syaratnya: 

a) Beragama Islam 

b) Laki-laki 

c) Jelas orangnya 

d) Dapat memberikan persetujuan 

e) Tidak terdapat halangan perkawinan

2) Calon isteri, syarat-syaratnya: 

a) Beragama Islam 

b) Perempuan 

c) Jelas orangnya 

d) Dapat dimintai persetujuan 

e) Tidak terdapat halangan perkawinan

3) Wali nikah, syarat-syaratnya: 

a) Laki-laki 

b) Dewasa 

c) Mempunyai hak perwalian 

d) Tidak terdapat halangan perwalian

4) Saksi nikah, syarat-syaratnya: 

a) Minimal dua orang laki-laki 

b) Hadir dalam ijab qabul 

c) Dapat mengerti maksud akad 

d) Islam 

e) Dewasa

5) Ijab Qabul, syarat-syaratnya: 

a) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali 

b) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai 

c) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut 

d) Antara ijab dan qabul bersambungan 

e) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya 

f) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah 

g) Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.

Sumber

[1] Mardani, Hukum Perkawinan Islam: di Dunia Islam Modern, (Yokyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 4

[2] Abd. Shomad, Hukum Islam, Jakarta: Kencana, cetakan 2, 2012), hal 180